Cerpen: Bidadari yang Mengembara

Karya: A.S. Laksana


JADI inilah awal mula, sebab segala sesuatu mesti berawal mula….

Setelah pertemuan yang menekan jantung dengan Nita, Alit merasakan semua jalan melingkar-lingkar. Rasa berat di kepalanya, yang disebabkan oleh hantaman kalimat Nita, sudah hilang empat jam kemudian. Namun matanya masih berkunang-kunang. Binatang yang pantatnya memancarkan cahaya kuning itu terus berputar-putar di pelupuk matanya. Serangga-serangga kecil ini, ketika jumlahnya seribu ekor, tiba-tiba mengobarkan nyala yang menyilaukan mata.

Dengan bimbingan seribu kunang-kunang yang menyilaukan matanya itulah Alit menapaki setiap ruas jalan. Namun karena silau, ia tidak bisa memilih ruas jalan yang benar. Di perempatan yang seharusnya ia berbelok ke kiri, ia mengambil ke kanan. Yang seharusnya lurus, ia menikung ke kiri.

Pada malam itu ia tidak tiba di tempat kost-nya. Juga pada dua hari sesudahnya.

Tiga hari tiga malam Alit mengikuti nyala pantat seribu kunang-kunang. Di hari pertama perjalanannya, ia kecopetan saat masuk ke sebuah pasar. Ia bisa merasakan ada sepotong tangan yang merogoh saku belakang celananya dan mengangkat dompetnya, namun ia gagal melihat muka orang itu. Ia hanya bisa melihat potongan tangan. Dengan rasa gusar ia mengamati tangan setiap orang yang ia jumpai di pasar.

Ketika ia merasa menemukan tangan yang cocok dengan yang dicarinya, diikutinya terus tangan itu. Ia ingin meringkus tangan itu ketika sudah di luar pasar; akan ia tuntaskan urusannya dengan tangan itu sebagai sesama lelaki jantan.

Di sebuah tikungan kira-kira dua ratus meter dari pasar, ia sergap tangan itu. Terdengar jerit perempuan, “Tolong! Tolong, saya mau diperkosa!” Lalu ia merasakan dadanya sesak oleh hantaman sepotong kaki lelaki. Tangan yang disergapnya terlepas, ia terhuyung-huyung dan kemudian lari menghindar dari kaki-kaki lain yang mungkin masih akan menghajarnya.

Ia terus berlari menjauhi suara-suara gaduh yang memburunya dan suara perempuan yang terus menjerit-jerit.

“Ia hendak memperkosa saya!”

“Bunuh! Bunuh!”

“Bakar!”

Ia menikung-nikung di seratus lekuk jalanan sampai tak ada lagi teriakan yang memburunya. Lalu ia merasakan nyeri di dadanya. Lalu ia membuka kancing bajunya dan meraba bagian dada yang sakit. Dada itu memar.

Ini cerita yang kurangkai sendiri dari penggalan-penggalan omongan orang tentang Alit di hari pertama setelah pertemuannya dengan Nita. Pada hari kedua Alit merasakan perutnya melilit dan tak bisa mampir ke warung semurah apa pun karena tak ada uang sama sekali padanya. Aku tak banyak tahu apa saja yang terjadi di hari kedua selain bahwa ia kesulitan memperoleh makanan atau teh hangat karena sudah tidak ada uang serupiah pun padanya.

Di hari ketiga, kudengar seribu kunang-kunang membimbingnya ke sebuah muara yang tak pernah dikunjungi orang. (Kalimat ini agak meragukan sebenarnya. Sebuah muara tak pernah dikunjungi orang, sedangkan bulan sudah diinjak-injak orang. Tapi aku hanya menuturkan apa yang kudengar.)

Ia tiba di sana pagi-pagi. Air laut berwarna hijau berkilauan. Burung-burung camar warna merah memenuhi permukaan langit, Alit menyangka sudah senja ketika ia melihat langit dipenuhi warna merah. Lalu burung-burung merah itu berkumpul menjadi satu, menciptakan bentuk seperti lidah api raksasa. Dan sebuah mukjizat diturunkan sekali lagi: tiba-tiba kumpulan camar itu benar-benar menjadi lidah api yang menyala merah di atas permukaan laut hijau.

Kobaran api itu menambah silau matanya. Ia seperti menyaksikan sebuah pertunjukan sulap yang dimainkan oleh pesulap paling hebat yang pernah dilahirkan di Cirebon. Alit pingsan oleh cahaya yang menyilaukan dan rasa lapar yang tak tertahankan. Tiga ekor burung bangau terbang rendah, membuat manuver tiga putaran, dan akhirnya hinggap di atas tubuh Alit yang terkapar di tepi muara.

Seribu kunang-kunang yang mengapung di matanya dilahap oleh bangau-bangau. Tiga kunang-kunang sempat melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi ke mata Alit.

Tiga burung bangau melahap 997 kunang-kunang.

Sebuah sasmita langit yang sempurna. Sebuah pertanda yang tak bisa dianggap remeh.

Dalam pingsannya, Alit melihat tiga sosok malaikat --berbentuk burung-burung bangau-- turun dari langit menuju ke tempatnya berbaring. Mereka datang untuk membisikkan sejumlah isyarat. Ia masih belum sadar benar ketika para malaikat itu menyampaikan bisikan pertama mereka. Kupingnya hanya bisa menangkap samar-samar. Lalu para malaikat bangau itu mengulang bisikan mereka. Tetap samar. Ketiga kalinya bangau-bangau itu memekik keras. Alit seperti mendengar lengking peluit kereta api yang hendak berangkat ke Semarang.

Ia meronta-ronta dan mengatakan bahwa ia tidak ingin pulang lagi ke Semarang.

“Mungkin kita salah orang,” Bangau yang paling besar mulai ragu-ragu.

“Tapi tanda-tandanya jelas, ada memar di dadanya,” kata yang lain.

“Tapi ia meronta,” kata bangau besar. “Ia tidak paham bahasa kita.”

“Aku yakin kita tidak salah,” kata bangau ketiga. “Mungkin ia tidak paham bahasa kita, namun kelak ia akan bisa membuat tafsirnya.”


***


API di laut sudah surut ketika Alit siuman. Laut biru, langit biru. Dadanya biru. Bau lumpur muara yang naik ke rongga dadanya ia rasakan seperti bau tanah yang naik oleh siraman air hujan. Lumpur itu menyibak membuat sebuah celah yang bisa dilewatinya.

Hari itu dunia seperti masih sangat muda, namun Alit tidak merasa berada di tempat asing. Apakah ia manusia pertama di dunia yang masih muda itu?

Ia meraba dada, meraba reranting tulang rusuknya.

Ada bagian yang sempal pada deretan tulang rusuk di dadanya.

Alit berpikir bahwa Tuhan pasti telah mematahkan sedikit tulang rusuknya ketika ia pingsan. Lalu Ia ciptakan makhluk perempuan dari patahan tulang rusuk itu. Tapi, disembunyikan di mana makhluk itu? Dan bagaimana ia kelak bisa mengenali bahwa seorang perempuan yang melintas di depan matanya adalah patahan tulang rusuknya? Bagaimana kalau ia keliru mengambil patahan rusuk orang lain dan memasangkannya ke dadanya?


***


PADA malam ketujuh, Alit tiba di tempat kost-nya. Tubuhnya berlumur bau dan debu dan kelopak matanya memberat. Ia tampak letih, kumal, dan mengantuk, dan kelihatan seperti manusia pertama yang diciptakan tidak dari bongkahan tanah, namun dari onggokan sampah. Ketika menempuh perjalanan pulang, kadang-kadang ia berjalan sambil tidur. Namun tak pernah lagi ia salah memilih arah. Setelah mendengar bisikan tiga burung bangau di muara, ia jadi bisa memandang ruas-ruas jalan yang dilaluinya, dan menentukan ke mana harus berbelok, tidak melulu dengan mata, tetapi juga dengan pikirannya.

Keesokan harinya, pagi-pagi, ia memanggil seorang tukang urut untuk menyembuhkan dadanya yang memar dan menghilangkan rasa nyeri pada tulang rusuknya yang patah. “Seseorang menendang dadaku dan Tuhan mematahkan tulang rusukku,” katanya pada tukang urut itu. “Tapi aku tak tahu di mana patahan itu disembunyikan.”

Mendengar ucapan Alit, tukang urut itu, seorang perempuan empat puluh dua tahun dengan tulang hidung yang meleset, seperti diingatkan pada sesuatu. “Tiga puluh tahun lalu, sebuah bemo menggasakku dan Tuhan mematahkan tulang hidungku,” katanya, “tapi Ia tidak menyembunyikan patahan itu di mana pun. Tulang hidungku hanya ringsek dan dukun urut yang menanganiku gagal mengembalikannya seperti semula.”

“Kau beruntung, tidak harus mengembara mencari patahan tulang hidungmu.”

“Tapi tak pernah ada lelaki yang mau mengawiniku karena hidungku ringsek.”

“Kupikir karena seluruh bagian tubuhmu masih lengkap. Kalau tulang hidungmu patah dan dari patahan tulang hidung itu Tuhan menciptakan seorang lelaki, maka lelaki itu pasti akan datang kepadamu, menggenapkan patahan tulang hidungmu. Tapi bagaimanapun kau lebih beruntung, tidak harus mengembara mencari patahan tulang hidungmu. Sedangkan aku harus melakukan pengembaraan untuk menemukan bagian tubuhku yang disembunyikan dan memasangnya di tempat semula agar utuh kembali.”

“Mengembaralah di kolong-kolong,” kata si tukang urut sekenanya. “Mungkin yang kaucari ada di sana.”

Tukang urut itu memborehkan minyak yang menimbulkan rasa panas dan meruapkan bau seperti nenek-nenek tua yang bepergian dengan bis jurusan luar kota. Alit merasa kepalanya pening sekali oleh bau minyak itu dan ia pingsan dengan kepala terkulai di pangkuan tukang urut.

Dalam pingsannya, ia melihat langit-langit kamarnya menyibak. Ia melihat langit biru cerah dan menyaksikan cahaya turun dari langit yang biru cerah. Pagi itu bukan burung bangau yang datang kepadanya melainkan seorang bidadari yang terbuat dari cahaya. Lekuk tubuhnya sempurna. Bidadari itu mengingatkan Alit pada Nita. Apakah Nita memiliki saudara kembar yang terbuat dari cahaya? Dari ketiaknya tercium harum bunga yang membuat kuntum-kuntum mawar di halaman menunduk dan kelopaknya memerah karena malu.

“Dari langit aku datang kepadamu,” kata bidadari serupa Nita itu. “Aku diutus untuk menyembuhkan luka memar di dadamu.”

Alit merasakan, di tengah pingsannya, butir-butir keringat tumbuh di permukaan dahinya. Dengan tangan cahayanya yang lembut, bidadari itu mengusap keringat di dahi Alit. Cahaya itu juga mengusap memar di dadanya.

“Kubawakan kepadamu air suci dari langit,” katanya. “Minumlah agar kau kuat menghadapi seluruh medan pertempuranmu.”

Alit menyambut cangkir yang disodorkan oleh sang bidadari. Tangannya terulur ke dada tukang urut dan digenggamnya erat-erat cangkir di dada perempuan itu. Lalu dari cangkir itu pula direguknya air suci dari langit.

“Nita...,” bisik Alit.

Perempuan itu gemetar. Pemuda itu membisikkan nama yang terdengar indah di telinganya.

“Kekasihku, Cinta Pertamaku,” sahut perempuan itu, dalam bisikan.

“Bidadariku,” kembali Alit berbisik.

Perempuan itu menangis.

“Pahlawanku,” balas perempuan itu di sela tangisnya.

Alit bergetar.

“Mungkin engkaulah patahan tulang rusukku.”

“Akulah patahan tulang rusukmu.”

Suhu tubuh keduanya meningkat beribu derajat. Keringat yang keluar dari tubuh mereka berubah menjadi uap. Kamar berkabut. Pekat.


***


SEMINGGU kemudian Alit pindah dari tempat kost-nya karena si tukang urut tiap hari datang kepadanya tanpa alasan. Alit merasa risih dan gatal-gatal, seperti tiba-tiba sekujur tubuhnya penuh panu dan kadas, karena perempuan yang hidungnya ringsek itu selalu menyapanya dengan sebutan “Pahlawanku” atau “Kekasihku” atau “Cinta Pertamaku” dan selalu membayangkan hari depan yang mengada-ada.

“Aku ingin kita tinggal di rumah yang mungil di tepi danau yang airnya memantulkan warna biru langit,” katanya. “Di danau itu kau memancing tiap hari Minggu bersama anak-anak kita dan ketika siang tiba aku akan mengantarkan rantang makanan untuk kalian. Akan kubawakan makanan-makanan yang bervitamin, agar anak-anak itu tumbuh sehat. Pada saatnya mereka juga akan menjadi pahlawan seperti kau, yang rela berbagi cinta dengan perempuan berhidung ringsek seperti aku.”

Enam hari berturut-turut mendengarkan khayalan perempuan itu, Alit merasa panu dan kadas di tubuhnya semakin mengganas dan kepalanya retak. Namun ia bertahan mati-matian agar tidak lagi jatuh pingsan. Ketika perempuan itu menggosokkan minyak urut ke lehernya sendiri, dan udara di kamar meruapkan aroma bis luar kota, Alit menyumbat nafas. Dan karena terlalu lama menyumbat nafasnya sendiri, ia menjadi lemas. Tapi tidak sampai pingsan. Langit-langit kamarnya tidak menyibak dan karena itu tak ada bidadari yang datang.

Pada hari ketujuh kunjungannya, perempuan itu menjumpai kamar yang kosong dan ia kemudian menjadi tukang urut pengembara yang keluar masuk kampung mencari pahlawannya. Ia mengembara dengan paras muka sedih dan rongsokan hidung yang mengharukan.

Perempuan itu lewat di kampungku, suatu hari, mengenakan baju warna tanah dan celana komprang hijau lumut. Karena lelah ia menyandarkan tubuhnya di batang pohon nangka di halaman rumah tempat aku mengontrak kamar. Iba oleh keadaannya siang itu, aku memanggilnya dan meminta diurut meski tubuhku tidak pegal-pegal.

Perempuan itu mengurutku sambil menceritakan kisah hidupnya. Aku merasakan alunan nada bangga pada suaranya yang secara mendadak bisa berubah menjadi rintihan. Sebelum memulai ceritanya, terlebih dulu ia memperkenalkan namanya dan memberitahukan alamat di mana ia tinggal sebelum menjalani hidup sebagai pengembara.

“Pahlawanku itu,” katanya, “ia tahu namaku yang sebenarnya, sebab telah kuperkenalkan namaku sebelum aku mengurutnya. Namun pada hari itu ia memberiku nama baru -- Nita, sebuah nama yang sangat indah. Aku suka sekali ketika pahlawanku itu, dalam bisikannya yang lembut, memanggilku dengan nama Nita. Kadang-kadang, ketika sedang sendirian, aku mengulang-ulang nama pemberiannya itu. Nita.... Nita.... Tidakkah kau dengar nama itu begitu indah?”

Selain suka mengulang-ulang nama Nita, perempuan itu juga sangat suka mengulang-ulang nama pahlawan yang dicarinya.

“Kau tahu, betapa indahnya percintaan kami,” mata perempuan itu berbinar. “Aku dan Daryono berpelukan di tengah kamar yang berkabut. Rasanya seperti bercinta di langit, di hamparan mega-mega. Lalu, selama enam hari, aku dan Daryono adalah pasangan yang paling berbahagia. Tapi aku tak tahu ke mana ia pergi di hari ketujuh.”

Dalam hati aku sangat berterima kasih kepadanya karena ia menyamarkan nama Alit dan memberikan kepada temanku itu sebuah nama baru sehingga orang-orang yang pernah diurutnya, yang mendengar kisah cintanya, tak akan ada yang menduga bahwa pahlawan yang dicarinya itu adalah Alit. Bahkan jika suatu hari nanti pengembaraannya sampai di Semarang dan suatu hari nanti ia berhenti di depan rumah ayah Alit di Tanah Putih dan ayah Alit, karena merasa iba, akan memanggilnya dan meminta diurut meskipun tidak pegal atau linu, orang tua itu pasti tidak akan menduga sama sekali bahwa anaknyalah yang sedang diceritakan dan dicari oleh tukang urut yang sedang memijitnya itu.

Sebagai ungkapan terima kasih atas kebaikan hatinya merahasiakan nama temanku, aku memberikan upah kepadanya satu setengah kali lipat dari tarif yang ia sebutkan. Masih kutambah dengan seluruh koin receh di saku celana yang kugantungkan di balik pintu. Lalu masih kutambah lagi dengan tawaran makan; ia mengatakan masih kenyang karena baru saja makan. Segera setelah menerima uang upah yang kuberikan, ia masukkan uang kertas ke dalam dompet besar yang ia simpan di dalam tasnya, sedangkan koin-koin receh ia masukkan begitu saja ke saku celananya.

Bentuk terima kasihku yang lain kuwujudkan dalam sebuah keputusan untuk tidak menyebutkan nama sebenarnya perempuan tukang urut itu, sekalipun aku tahu, dan merahasiakan tempat tinggalnya sebelum ia menjadi pengembara. Kepadamu pun tak akan kuberikan nama dan alamatnya.

Sebelum pergi, ia menanyakan apakah aku tahu di mana Daryono tinggal.

“Sebulan lalu aku berjumpa dengannya dan ia bilang ia mengontrak sebuah rumah petak di belakang stadion Lebak Bulus, bersama seorang pelukis yang baru tamat kuliah tahun ini setelah menghabiskan waktu sembilan tahun di jurusan matematika,” jawabku sekenanya.

Aku sebenarnya tidak tahu di mana Alit tinggal, tetapi tidak tega rasanya untuk berterus terang kepada perempuan itu bahwa aku tidak tahu. Dengan memberikan alamat tersebut, setidaknya aku telah menyalakan harapan di jantungnya.

Ia mengucapkan terima kasih berkali-kali dan mengatakan bahwa, jika tidak terlalu capek, hari itu juga ia akan pergi ke alamat yang kusebutkan. Lalu ia menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi karena hanya akulah satu-satunya orang yang mau menunjukkan alamat tempat tinggal pahlawannya. “Orang-orang lain yang minta kupijit, semua pura-pura tidak tahu jika kutanya di mana Daryono tinggal,” katanya.

Aku mengikuti kepergiannya dengan pandangan mataku. Ketika ia sampai di pintu pagar, aku mengimbuhkan keterangan yang cukup penting kepadanya, “Tapi itu sebulan lalu. Mungkin kemarin atau minggu lalu dia sudah pindah lagi. Atau mungkin tak ada satu pun tetangganya yang kenal pada nama Daryono dan nama pelukis yang serumah dengannya. Di kota ini, kau tahu sendiri, kita tidak pernah tahu nama tetangga yang tinggal di sebelah kita.”

Sekali lagi ia berterima kasih akan seluruh kebaikanku. “Bahkan kalaupun kau berbohong tentang alamat itu, aku tetap mencatatnya sebagai sebuah kebaikan,” katanya. “Setidaknya, kau mencoba menyalakan harapan di jantungku dengan memberikan alamat itu.” Lalu ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah doa: Tuhan yang akan membalas semua budi baikku.

Aku menanyakan sampai kapan ia akan mencari pahlawannya. Ia menjawab bahwa ia akan mencarinya sampai seribu tahun lagi. “Aku yakin suatu hari akan kutemukan pahlawanku,” katanya. “Sebab akulah sempalan tulang rusuknya dan ia menyebutku bidadari.”

Tiba-tiba ia meraung, merasakan perih luar biasa yang disebabkan oleh kalimatnya sendiri. Ketika sudah berhasil meredakan rasa perihnya, ia melanjutkan perjalanan dengan sisa tangis yang merintih-rintih. Koin-koin receh di saku celana komprangnya berkerincang-kerincing setiap kali ia mengayunkan batang kaki. Perempuan tukang urut itu, sebut saja namanya Nita sebab ia bahagia dengan nama itu, mungkin merasa dirinya adalah bidadari yang lahir malam-malam dari mulut seorang permaisuri yang sedang menunda hukuman mati pagi hari; mungkin ia merasa dirinya adalah bagian dari kisah seribu satu malam: seorang bidadari yang mengembara dan merintih dengan iringan musik rebana.***


Dimuat pertama kali di Koran Tempo Minggu.

Comments

Popular Posts